Renungan



API DAN ASAP

            Suatu ketika ada kapal tenggelam akibat diterjang badai. Tak ada penumpang yang tersisa. Kecuali, satu orang yang berhasil mendapatkan pelampung. Namun, nasib baik belum seutuhnya berpihak kepada pria itu. Dia terdampar ke sebuah pulau terpencil tek berpenghuni sendiri. Tak ada bekal makanan.
            Orang itu berdo’a kepada Tuhan minta diselamatkan. Usai berdo’a, ia pandangi penjuru cakrawala. Berharap ada kapal datang. Tapi, tak ada kapal yang diharapkan tiba. Ia bedo’a lebih khusyuk. Kemudian, menatap jauh ke laut lepas. Tidak ada kapal datang. Sekali lagi pria itu berdo’a, tapi tak ada juga kapal yang diharapkan. Ya, pulau temapat terdampar terlalu terpencil. Hampir tidak ada kapal lewat dekatnya.
            Akibatnya, pria itu tidak berdo’a lagi, ia telah lelah berharap. Lalu, ia menghangatkan badan. Dikumpulkanlah pelepah nyiur untuk membuat perapian. Setelah tubuhnya terasa nyaman, pria itu membuat rumah-rumahan sekedar tempat melepas lelah. Disusunnya semua nyiur dengat cermat agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.
            Keesokan harinya, pria malang itu mencari makan. Dicarinya buah-buahan untuk pengganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok di jelajahi hingga kemudian ia kembali ke gubuknya. Namun, ia terkejut. Semuanya telah hangus terbakar, rata dengan tanah. Hampir tak bersisa. Gubuk itu terbakar karena pria itu lupa memadamkan perapian. Asap membumbung tinggi ke angkasa. Hilanglah kerja keras semalaman.
            Pria itu berteriak marah, “Tuhan mengapa Kau lakukan ini kepadaku. Kenapa? Kenapa..?” Teriakannya melengking menyesali nasib.
            Tiba-tiba terdengar suara peluit. Tuittt... tuitt.. Ternyata itu suara sebuah kapal yang sedang mendekat. Kapal itu merapat ke pantai. Beberapa orang turun dari kapal, menghampiri pria yang sedang menangisi gubuknya itu. Tentunya pria itu terkejut. “Bagaimana kalian bisa tahu kalau aku ada disini?” tanyanya penuh keheranan.
            “Kami melihat simbol asapmu!” jawab salah salah seorang awak kapal. Teman, itulah kita. Kita adalah orang yang manja dan pemarah saat ditimpa musibah. Bahkan, selalu menilai bahwa nestapa yang kita terima adalah penderitaan yang begitu berat dan tak pernah dirasakan ole siapapun. Itulah sebabnya kenapa kiata begitu mudah mengeluh, marah, bahkan mengumpat.
            Teman, tentu sikap itu tidak tepat. Seharusnya, musibah tidak boleh membuta kita kehilangan hati kita. Tuhan harus selalu ada di hati kita, walau dalam keadaan berat sekalipun. Sebab, Tuhan itu tidak tidur. Ia tahu betul kegelisahan dan jeritan hati kita. Dia Maha Pengasin dan Penyayang. Dan kasih Nya selalu datang kepada kita. Pada saat dan cara yang tiadak disangka-sangka. Hanya saja kita terlalu kerdil untuk memahaminya.
Sumber : buku bimbel BTA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL JAWABAN DARI KELOMPOK 2 & 3 MATA KULIAH ANALISIS LAPORAN KEUANGAN

ERD Peminjaman Buku Perpustakaan